Monday, December 21, 2015

FILSAFAT Pengaruh pemikiran Gusdur Terhadap Sistem Pendidikan



ABDUR ROHMAN WAHID
GUS DUR

Disusun Guna Memenuhi Tugas Akhir Semester
Mata Kuliah : Filsafat Islam
Dosen Pengampu : Atika Ulfa Adlina, M.S.I




 










Disusun oleh :
Ali Mahfudh                      : 112794

           
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
FAKULTAS TARBIYAH JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015
BAB I

A.     Latar Belakang Pemilihan Tokoh
Diantara sekian banyaknya para tokoh politik yang ada di Negri ini, yang memiliki pemikiran nyentrik, menggelitik dan mau membela kaum minoritas, juga memiliki sikap toleransi yang tinggi ialah  mantan Presiden ke empat Indonesia Abdurahman Wahid. Karena di tengah-tengah situasi reformasi yang menghendaki dilakukannya penataan ulang terhadap berbagai masalah: ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya, sangat dibutuhkan adanya pemikiran-pemikiran kreatif, inovatif dan solutif.
K.H. Abdurahman Wahid yang lebih akrab dipanggil Gus Dur termasuk tokoh yang banyak memiliki gagasan kreatif, inovatif dan solutif tersebut. Pemikirannya yang terkadang keluar dari tradisi Al-Sunnah wal Jama’ah menyebabkan ia menjadi tokoh kontroversial. Perannya sebagai Presiden Republik Indonesia yang keempat menyebabkan ia memiliki kesempatan dan peluang untuk memperjuangkan tercapainya gagasan-gagasan itu. Sebagai seorang ilmuan yang genius dan cerdas, ia juga melihat bahwa untuk memberdayakan umat Islam, harus dilakukan dengan cara memperbarui pesantren. Atas dasar ini ia dapat dimasukkan sebagai tokoh pembaharu pendidikan Islam.
Gus Dur digelari sebagai Bapak Pluralisme, karena keberpihakannya pada kelompok kaum minoritas, baik dalam kalangan muslim maupun karena kedekatannya dengan kalangan umat non-muslim seperti umat Kristen, katolik dan etnis tionghoa. Bukan hanya Indonesia saja namun ternyata dunia pun mengakuinya. Meskipun pada realitanya sikap Gus Dur yang memberi teladan perihal pluralisme tersebut tidak serta merta disepakati oleh semua pihak. Karena menghadirkan pro dan kontra tersendiri dari pemikirannya yang sering kontroversi.

B.     Keunikan
Dalam banyak kesan, Gus Dur mungkin bisa digambarkan dengan kata – kata yang singkat saja : Kompleks dan Nyeleneh. Oleh karena itu pribadi Gus Dur cenderung sulit untuk dipahami tergantung siapa yang melihat dan memahami atau menafsirkan.
Bahkan pada saat ia menjabat sebagai presiden RI, sempat muncul anekdot tentang tiga misteri Tuhan : bahwa ada tiga Misteri Tuhan yang tidak bisa dipahami atau diketahui manusia sebelum hal itu terjadi, yakni jodoh, kematian dan Gus Dur.
Bagi orang-orang awam dan pengikut-pengikutnya bahkan ilmuwan intelek sekalipun, Gus Dur sering kali dilihat sebagai pribadi yang misterius, tak terduga, dan weruh sadurunge winarah (bisa mengetahui sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi). Sebuah kata – kata jawa yang memiliki makna sangat dalam, sarat dengan hikmah dan misteri.

C.      Apa Yang Ingin Disampaikan
Meskipun KH Abdurrahman Wahid sudah wafat, masyarakat Indonesia dan dunia tidak akan pernah kehilangan sosok yang akrab disapa dengan panggilan Gus Dur itu. Karena banyak sekali yang dapat dipelajari dari pemikiran beliau. Jasadnya yang ringkih dengan berbagai penyakit memang telah terkubur, tetapi amal, jasa, dan kepribadiannya akan tetap hidup. Sosok Gus Dur sangat menginspirasi bagi kalangan generasi muda untuk tetap bisa berpikir kreatif dan inovatif.



BAB II
A.     Latar Belakang Pendidikan
Abdurrahman Ad-dakhil bin Wahid Hayim bin Hasyim Asy’ary, demikian nama lengkap dari Abdurrahman Wahid yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur, adalah sosok yang lahir dan berkembang dari suatu kombinasi kualitas personal yang tidak lazim, sebagian juga karena faktor-faktor lingkungan, setidaknya dari latar belakang keluarganya[1]. Beliau lahir pada tanggal 4 Agustus 1940, di Denanyar, Jombang Jawa Timur. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara.  Ia adalah putra dari mantan Menteri Agama RI pertama, K.H. Wahid Hasyim, dengan Ny. Hj. Solehah, dan merupakan titisan langsung dari para kyai besar di Jawa.  Kakek dari ayahnya K.H. Hasyim Asy’ari adalah ulama besar pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jaawa Timur dan pernah memangku jabatan Rais Akbar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Mengenai riwayat pendidikannya, Abdurahman Wahid mulai menuntut ilmu :
1.       SD Jakarta 1947-1953
2.       SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Jakarta dan Yogyakarta, 1953-1957
3.       Pondok pesantren Rapyak, Yogyakarta, 1954-1957
4.       Pondok pesantren Tegalrejo, Magelang Jawa Tengah, 1957-1959
5.       Pondok pesantren tambak beras, sambil mengajar di Madrasah Mualimat Tambak Beras Jombang, 1959-1963.
6.       Belajar di Ma’had al-Dirosah al-Islamiyah (Departement og Higer Islamic and Arabic Studies) al-Azhar Islamic University, Cairo Mesir, 1964-1969.
7.       Belajar di Fakultas Sastra Universitas Bagdad Irak, 1970-1972.
8.       Menjadi dekan dan dosen Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Asyari Tebu Ireng Jombang., 1972-1974.
9.       Sekretaris pondok pesantren Tebu Ireng, Jombang 1974-1979.
10.   Pengasuh Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan, 1979..
11.   Pengasuh Yayasan Pondok Pesantren Denanyar Jombang, 1996.
12.   Anggota Dewan Universitas Saddam Husain Bagdad[2].
B.     Status Sosial Ekonomi
Secara geneologis, Abdurahman Wahid memiliki keturunan “darah biru” dan, menurut Clifford Geertz, ia termasuk golongan santri dan priyayi sekaligus. Baik dari garis keturunan ayah maupun ibunya, Abdurahman Wahid adalah sosok yang menempati strata sosial tertinggi dalam masyarakatIndonesia. Ia adalah cucu dari dua ulama terkemuka NU dan tokoh terbesar bangsa Indonesia. Kakeknya, Kiai Bisri Syamsuri dan Kiai Hasyim Asy’ari sangat dihormati di kalangan NU, karena kedudukannya sebagai ulama karismatik.
Abdurrahman Wahid menikah dengan seorang putri dari H. Abdullah Syukur, pedagang terkenal yang pernah menjadi murid Gus Dur saat menjadi guru di mu’alimat. Mereka menikah pada tanggal 11 juli 1968 dan melangsungkan pernikahan jarak jauh, karena Gus Dur masih berada di mesir. Dari pernikahan ini Gus Dur dikaruniai empat anak perempuan yaitu, Alissa Qatrunnada Munawarah (Lisa), Zanuba Arifah Chafsoh (Yeny), Anita Hayatunufus (Anita), dan Inayah Wulandari (Inayah).
Keluarga Gus Dur tak jauh berbeda dengan keluarga yang lain. Gus Dur memiliki konsep berumah tangga seperti yang pernah diungkapkannya “istri itu yang terbaik kalau nggak ikut campur urusan suami. Dan suami yang baik adalah nggak mau tahu urusan istri, yang terpenting menghormati hak masing-masing
Bagi Sinta Gus Dur tergolong pria yang romantic. Sinta sangat memahami segala kegiatan Gus Dur. Diskusi adalah cara yang jitu bagi sinta untuk bisa mengerti tentang Gus Dur, setiap muncul ide-ide Gus Dur yang mendapat sorotan luas dari masyarakat maka Sinta akan coba memahami, dan keduanya selalu berdiskusi terlebih dahulu. Diskusi seolah telah menjadi menu pengganti keromantisan Gus Dur, yang semakin menjadi sibuk sejak terpilih menjadi Ketua Umum PBNU.
Sebagai ayah Gus Dur pun merupakan ayah yang Demokratis bagi anak-anak nya. Kendati memberikan kebebasan penuh terhadap anak nya dalam menentukan cita-cita dan pendidikan, namun Gus Dur sangat mencintai anak-anaknya.

C.      Pokok Pikiran Tokoh
Abdurahman Wahid dan orang-orang yang tertarik dengannya merupakan generasi neo-modernis Islam, termasuk tokoh-tokoh lain seperti Nurcholis Madjid, Jalaludin Rahmat, Dawam Raharjo dan Amien Rais yang menganjurkan Islamisasi atau re-Islamisasi bangsa Indonesia, Abdurahman Wahid menekankan Indonesia, pribumisasi atau kontekstualisasi Islam. Dengan cara ini, ia ingin menggabungkan nilai-nilai dan keyakinan Islam dengan kultur setempat. ”Sumber Islam adalah wahyu yang mempunyai norma-norma sendiri, karena sifatnya yang permanent. Di sisi lain budaya adalah ciptaan manusia dan oleh karena itu berkembang sesuai dengan perubahan sosial, tetapi hal ini tidak menghalangi manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya[3].
Masalah pribumisasi Islam ada dua tulisan Gus Dur yang berkaitan langsung dengan tema sentralnya yaitu : “Salahkah jika dipribumikan? Dan pribumisasi Islam”.
Menurut Gus Dur pribumisasi Islam adalah suatu pemahaman islam yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dan budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi ushul al-fiqh dan qowaid al-fiqh.
Dalam proses ini Gus Dur pembauran Islam dengan budaya tidak boleh terjadi sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam harus tetap pada sifat keIslamannya. Al-qur’an harus tetap dalam bahasa arab, terutama dalam shalat, sebab hal ini merupakan norma. Sedangkan terjemahan al-qur’an hanyalah untuk mempermudah pemahaman bukan menggantika al-qur’an itu sendiri.
Abdurahman Wahid benar-benar sebuah teka-teki, ia bukan tradisionalis konserfatif, bukan pula modernis islam. Dia seorang pemikir liberal, seorang pemimpin organiasasi islam berbasis tradisi terbesar. Sebagai seorang cendekiawan inovatif yang memeragakan profesional biasa atau intelektual, dia memimpin suatu organisasi ulama (NU).



BAB III

A.     Tinjauan Kritis
Setidaknya ada lima gugus besar pemikiran yang diperjuangkan Abdurrahman Wahid sepanjang hidupnya melalui berbagai aktivitas sosial, politik dan keagamaannya.
Pertama, dalam keyakinan Abdurrahman Wahid sesuai dengan khazanah keilmuan NU, syariat Islam diturunkan kepada manusia tidak memiliki tujuan lain kecuali untuk melindungi kepentingan dasar manusia itu sendiri, mewujudkan kedamaian, kemaslahatan dan kemajuan di antara mereka. Untuk tujuan itu, para ulama di masa lampau merumuskan sebuah konsep yang dienal dengan maqashid as-syari’ah atau tujuan-tujuan syariat.
Dalam satu karya monumentalnya, al-Mustasyfa (Jilid I, hlm. 278), Al-Ghazali menyebutkan tujuan syariat diturunan kepada manusia adalah untuk melindungi lima hal, yaitu: agama dan keyakinan, jiwa, akal, keturunan, dan harta atau hak milik pribadi. Dengan demikian, Islam dalam pandangan Abdurrahman Wahid sangat melindungi kebebasan beragama, berkeyakinan, berprofesi dan berfikir. Islam sangat melindungi dan menghormati hak-hak asasi manusia (HAM).
Sesuai dengan tujuan syariat, Abdurrahman Wahid sangat mengedepankan toleransi beeragama dan menjunjung tinggi komunikasi dengan kelompok agama berbeda. Bagi Abdurrahman Wahid, kebesaran Islam di masa lampau bisa dimungkinkan karena peradaban Islam mampu menyerap nilai-nilai dari peradaban dan agama lain.
Kedua, Abdurrahman Wahid adalah tokoh agama yang sangat anti-kekerasan. Baginya, kekerasan bukan hanya bertentangan secara diametral dengan ajaran Islam, tetai juga merugikan Islam itu sendiri. Dalam konteks inilah, Abdurrahman Wahid selalu mengedepankan dialog, baik antar-umat seagama maupun antar-agama.
Menurut Abdurrahman Wahid, pertentangan penadapat tidak semuanya harus diselesaikan dengan melarang atau menyesatkan kelompok lain. Toleransi justeru bisa lebih membawa hasil. Baginya, hak hidup dan menjalankan ajaran agama yang diyakini merupakan hak dasar yang dijamin sepenuhnya oleh syariat.
Ketiga, demokrasi adalah bagian dari manifestasi tujuan syariat dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dalam pandangan Abdurrahman Wahid, dalam dunia modern demokrasilah yang dapat mempersatukan beragam arah kecenderungan kekuatan-kekuatan bangsa.
Demokrasi dapat mengubah kecerai-beraian arah masing-masing kelompok menjadi berputar bersama-sama menuju kedewasaan, kemajuan dan integritas bangsa.
Keempat, Abdurrahman Wahid adalah penjaga tradisi, dimana menurut pandangannya, agama dan budaya bersifat saling melengkapi. Agama bersumber dari wahyu dan memiliki norma-norma sendiri. Norma-norma agama bersifat normatif, karenanya ia cenderung menjadi permanen. Sedangkan budaya adalah kreativitas manusia, karenanya ia berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung untukk selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk udaya.
Kelima, menurut Abdurrahman Wahid, Islam akan lebih efektif dan membumi jika berfungsi sebagai etika sosial. Hukum agama, kata beliau, tidak akan kehilangan kebesarannya dengan berfungsi sebagai etika masyarakat. Bahkan kebesarannya akan memancar, karena ia mampu mengembangkan diri tanpa dukungan massif dari institusi negara[4].

B.     Pengaruh Pemikiran Tersebut Terhadap Pemikiran Islam
Pandangan dan sikap Gus Dur dalam keislaman menekankan sikap rahmatan lil ‘alamin, yakni membawa kebaikan dan kedamaian kepada orang lain, kepada masyarakat lain, kepada kelompok agama lain, kepada suku lain, kepada berbagai tataran keilmuan dan profesi lain, serta kepada bangsa lain. Dari penekanan ini, kemudian muncul sikap kasih sayang (rahmat) dan mengesampingkan sinisme yang disebabkan oleh “merasa yang paling benar”, “merasa kuat”, dan lain sebagainya. Sikap kasih sayang ini adalah garis pembatas agar kita tidak melakukan sesuatu yang membuat sakit hati suatu suku, suatu agama, atau suatu kelompok, serta mengekang keinginan untuk menguasai atau menindas.
Dari penekanan pada prinsip rahmatan lil ‘alamin ini, keislaman Gus Dur kemudian dinaikkan pada tahapan keislaman yang lebih tinggi, yakni khalifah fil ardhi (wakil Tuhan di bumi). Dengan prinsip khalifah fil ardhi, aka segala tindakan selalu akan dilandasi niatan tulus dan kasih sayang, didasari kedamaian dan demi kesejahteraan (rahmat), sebagaimana nilai-nilai asmaul Husna dalam mencapai keharmonisan kehidupan di bumi ini. Sebagai khalifah, maka setiap pribadi harus bersikap terbuka pada semua kepentingan dan keberadan berbagai sendi kehidupan yang ada di muka bumi ini, seperti keberadaan tingkat keilmuan, keberadaan taraf hidup, keberadaan keyakinan, dan keberadaan dalam tingkat kemampuan melakukan ketaatan peribadatan. Dengan keterbukaan untuk berdialog dengan semua sendi kehidupan tersebut diharapkan tercapai titik temu jalan kebersamaan untuk meningkatkannya menuju tingkat ideal. Salah satu tugas utama dari setiap orang yang berpegang pada prinsip khalifah ini adalah menempatkan segala sesuatu sesuai dengan tempatnya (al-‘adalah) dan memandang segala sesuatu yang ada di muka bumi ini memiliki potensi kebaikan (al-hikmah).

C.      Mengapa Islam Dewasa Ini Sangat Minim Dengan Pemikir-Pemikir Islam
Islam dewasa ini memang sangat minim dengan para pemikir-pemikir islam. sebenarnya yang menjadi sebab minimnya formulasi pemikir islam ada faktor utama, yaitu (1) adanya polarissai dikotomis pemikiran pendidikan antara yang bersifat rasional-filosofis dengan yang bersifat agamis-murni, dan (2) sebagian besar risalah pendidikan islam yang ditulis ditujukan untuk segmen penuntut ilmu tingkat lanjut[5]


[1] Aris Saefullah. Gus Dur VS Amien Rais: Dakwah Kultural-Struktural. (Yogyakarta: laelathinkers, 2003). Hlm. 65
[2] K.H. Mustafa Bisri, Beyond The Simbol, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2000), cet.1 h. 23-24
[3] Jhon L, Esposito-Jhon O, Vall, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002) h. 261-262
[4] A Muhaimin Iskandar. Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur. (Yogyakarta: LKiS, 2010). Hlm. 8-12
[5] Mahmud Arif. Pendidikan islam transformatif. (Yogyakarta: LKiS, 2008). Hlm 130