ABDUR ROHMAN
WAHID
GUS DUR
Disusun Guna
Memenuhi Tugas Akhir Semester
Mata Kuliah
: Filsafat Islam
Dosen
Pengampu : Atika Ulfa Adlina, M.S.I
Disusun oleh
:
Ali Mahfudh : 112794
|
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
FAKULTAS
TARBIYAH JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015
BAB I
A.
Latar Belakang Pemilihan
Tokoh
Diantara sekian banyaknya para tokoh politik yang ada
di Negri ini, yang memiliki pemikiran nyentrik, menggelitik dan mau membela
kaum minoritas, juga memiliki sikap toleransi yang tinggi ialah mantan
Presiden ke empat Indonesia Abdurahman Wahid. Karena di tengah-tengah situasi
reformasi yang menghendaki dilakukannya penataan ulang terhadap berbagai
masalah: ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya, sangat
dibutuhkan adanya pemikiran-pemikiran kreatif, inovatif dan solutif.
K.H. Abdurahman Wahid yang lebih akrab dipanggil Gus
Dur termasuk tokoh yang banyak memiliki gagasan kreatif, inovatif dan solutif
tersebut. Pemikirannya yang terkadang keluar dari tradisi Al-Sunnah wal Jama’ah
menyebabkan ia menjadi tokoh kontroversial. Perannya sebagai Presiden Republik
Indonesia yang keempat menyebabkan ia memiliki kesempatan dan peluang untuk
memperjuangkan tercapainya gagasan-gagasan itu. Sebagai seorang ilmuan yang
genius dan cerdas, ia juga melihat bahwa untuk memberdayakan umat Islam, harus dilakukan
dengan cara memperbarui pesantren. Atas dasar ini ia dapat dimasukkan sebagai
tokoh pembaharu pendidikan Islam.
Gus
Dur digelari sebagai Bapak Pluralisme, karena keberpihakannya pada kelompok
kaum minoritas, baik dalam kalangan muslim maupun karena kedekatannya dengan
kalangan umat non-muslim seperti umat Kristen, katolik dan etnis tionghoa.
Bukan hanya Indonesia saja namun ternyata dunia pun mengakuinya. Meskipun pada
realitanya sikap Gus Dur yang memberi teladan perihal pluralisme tersebut tidak
serta merta disepakati oleh semua pihak. Karena menghadirkan pro dan kontra
tersendiri dari pemikirannya yang sering kontroversi.
B.
Keunikan
Dalam banyak kesan, Gus Dur mungkin bisa digambarkan
dengan kata – kata yang singkat saja : Kompleks dan Nyeleneh. Oleh karena
itu pribadi Gus Dur cenderung sulit untuk dipahami tergantung siapa yang
melihat dan memahami atau menafsirkan.
Bahkan pada saat ia menjabat sebagai presiden RI,
sempat muncul anekdot tentang tiga misteri Tuhan : bahwa ada tiga Misteri Tuhan
yang tidak bisa dipahami atau diketahui manusia sebelum hal itu terjadi, yakni
jodoh, kematian dan Gus Dur.
Bagi orang-orang awam dan pengikut-pengikutnya bahkan
ilmuwan intelek sekalipun, Gus Dur sering kali dilihat sebagai pribadi yang
misterius, tak terduga, dan weruh sadurunge winarah (bisa mengetahui
sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi). Sebuah kata – kata jawa yang
memiliki makna sangat dalam, sarat dengan hikmah dan misteri.
C.
Apa Yang Ingin Disampaikan
Meskipun KH Abdurrahman Wahid sudah wafat,
masyarakat Indonesia dan dunia tidak akan pernah kehilangan sosok yang akrab
disapa dengan panggilan Gus Dur itu. Karena banyak sekali yang dapat dipelajari
dari pemikiran beliau. Jasadnya yang ringkih dengan berbagai
penyakit memang telah terkubur, tetapi amal, jasa, dan kepribadiannya akan
tetap hidup. Sosok Gus Dur sangat menginspirasi bagi kalangan generasi muda
untuk tetap bisa berpikir kreatif dan inovatif.
BAB II
A.
Latar Belakang Pendidikan
Abdurrahman Ad-dakhil bin Wahid Hayim bin Hasyim
Asy’ary, demikian nama lengkap dari Abdurrahman Wahid yang kemudian lebih
dikenal dengan sebutan Gus Dur, adalah sosok yang lahir dan berkembang dari
suatu kombinasi kualitas personal yang tidak lazim, sebagian juga karena
faktor-faktor lingkungan, setidaknya dari latar belakang keluarganya[1].
Beliau lahir pada tanggal 4 Agustus 1940, di Denanyar, Jombang Jawa Timur. Gus Dur
adalah putra pertama dari enam bersaudara.
Ia adalah putra dari mantan Menteri Agama RI
pertama, K.H. Wahid Hasyim, dengan Ny. Hj. Solehah, dan merupakan titisan
langsung dari para kyai besar di Jawa. Kakek dari ayahnya K.H. Hasyim
Asy’ari adalah ulama besar pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jaawa
Timur dan pernah memangku jabatan Rais Akbar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Mengenai riwayat pendidikannya, Abdurahman Wahid mulai menuntut ilmu :
1.
SD Jakarta 1947-1953
2. SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Jakarta dan
Yogyakarta, 1953-1957
3. Pondok pesantren Rapyak, Yogyakarta, 1954-1957
4. Pondok pesantren Tegalrejo, Magelang Jawa Tengah,
1957-1959
5. Pondok pesantren tambak beras, sambil mengajar di
Madrasah Mualimat Tambak Beras Jombang, 1959-1963.
6. Belajar di Ma’had al-Dirosah al-Islamiyah (Departement og Higer Islamic and
Arabic Studies) al-Azhar Islamic University, Cairo Mesir, 1964-1969.
7. Belajar di Fakultas Sastra Universitas Bagdad Irak,
1970-1972.
8. Menjadi dekan dan dosen Fakultas Ushuludin Universitas
Hasyim Asyari Tebu Ireng Jombang., 1972-1974.
9. Sekretaris pondok pesantren Tebu Ireng, Jombang
1974-1979.
10. Pengasuh Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan,
1979..
11.
Pengasuh Yayasan
Pondok Pesantren Denanyar Jombang, 1996.
12. Anggota Dewan Universitas Saddam Husain Bagdad[2].
B.
Status Sosial Ekonomi
Secara geneologis, Abdurahman Wahid memiliki keturunan “darah biru” dan,
menurut Clifford Geertz, ia termasuk golongan santri dan priyayi sekaligus.
Baik dari garis keturunan ayah maupun ibunya, Abdurahman Wahid adalah sosok
yang menempati strata sosial tertinggi dalam masyarakatIndonesia. Ia adalah
cucu dari dua ulama terkemuka NU dan tokoh terbesar bangsa Indonesia.
Kakeknya, Kiai Bisri Syamsuri dan Kiai Hasyim Asy’ari sangat dihormati di
kalangan NU, karena kedudukannya sebagai ulama karismatik.
Abdurrahman Wahid menikah dengan seorang putri dari H.
Abdullah Syukur, pedagang terkenal yang pernah menjadi murid Gus Dur saat
menjadi guru di mu’alimat. Mereka menikah pada tanggal 11
juli 1968 dan melangsungkan pernikahan jarak jauh, karena Gus Dur masih berada
di mesir. Dari pernikahan ini Gus Dur dikaruniai empat anak perempuan yaitu,
Alissa Qatrunnada Munawarah (Lisa), Zanuba Arifah Chafsoh (Yeny), Anita
Hayatunufus (Anita), dan Inayah Wulandari (Inayah).
Keluarga Gus Dur tak jauh
berbeda dengan keluarga yang lain. Gus Dur memiliki konsep berumah tangga
seperti yang pernah diungkapkannya “istri itu yang terbaik kalau nggak ikut
campur urusan suami. Dan suami yang baik adalah nggak mau tahu urusan istri,
yang terpenting menghormati hak masing-masing”
Bagi Sinta Gus Dur tergolong
pria yang romantic. Sinta sangat memahami segala kegiatan Gus Dur. Diskusi
adalah cara yang jitu bagi sinta untuk bisa mengerti tentang Gus Dur, setiap
muncul ide-ide Gus Dur yang mendapat sorotan luas dari masyarakat maka Sinta
akan coba memahami, dan keduanya selalu berdiskusi terlebih dahulu. Diskusi
seolah telah menjadi menu pengganti keromantisan Gus Dur, yang semakin menjadi
sibuk sejak terpilih menjadi Ketua Umum PBNU.
Sebagai ayah Gus Dur pun merupakan ayah yang Demokratis bagi anak-anak nya.
Kendati memberikan kebebasan penuh terhadap anak nya dalam menentukan cita-cita
dan pendidikan, namun Gus Dur sangat mencintai anak-anaknya.
C.
Pokok Pikiran Tokoh
Abdurahman Wahid dan orang-orang yang tertarik dengannya merupakan generasi
neo-modernis Islam, termasuk tokoh-tokoh lain seperti Nurcholis Madjid,
Jalaludin Rahmat, Dawam Raharjo dan Amien Rais yang menganjurkan Islamisasi
atau re-Islamisasi bangsa Indonesia, Abdurahman Wahid menekankan Indonesia,
pribumisasi atau kontekstualisasi Islam. Dengan cara ini, ia ingin
menggabungkan nilai-nilai dan keyakinan Islam dengan kultur setempat. ”Sumber
Islam adalah wahyu yang mempunyai norma-norma sendiri, karena sifatnya yang
permanent. Di sisi lain budaya adalah ciptaan manusia dan oleh karena itu
berkembang sesuai dengan perubahan sosial, tetapi hal ini tidak menghalangi
manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya[3].
Masalah pribumisasi Islam ada dua
tulisan Gus Dur yang berkaitan langsung dengan tema sentralnya yaitu :
“Salahkah jika dipribumikan? Dan pribumisasi Islam”.
Menurut Gus Dur pribumisasi Islam
adalah suatu pemahaman islam yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di
dalam merumuskan hukum-hukum agama, tetapi agar norma-norma itu menampung
kebutuhan-kebutuhan dan budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan
oleh variasi ushul al-fiqh dan qowaid al-fiqh.
Dalam proses ini Gus Dur pembauran
Islam dengan budaya tidak boleh terjadi sebab berbaur berarti hilangnya
sifat-sifat asli. Islam harus tetap pada sifat keIslamannya. Al-qur’an harus
tetap dalam bahasa arab, terutama dalam shalat, sebab hal ini merupakan norma.
Sedangkan terjemahan al-qur’an hanyalah untuk mempermudah pemahaman bukan
menggantika al-qur’an itu sendiri.
Abdurahman Wahid benar-benar sebuah teka-teki, ia
bukan tradisionalis konserfatif, bukan pula modernis islam. Dia seorang pemikir
liberal, seorang pemimpin organiasasi islam berbasis tradisi terbesar. Sebagai
seorang cendekiawan inovatif yang memeragakan profesional biasa atau
intelektual, dia memimpin suatu organisasi ulama (NU).
BAB III
A.
Tinjauan Kritis
Setidaknya ada lima gugus besar pemikiran yang diperjuangkan
Abdurrahman Wahid sepanjang hidupnya melalui berbagai aktivitas sosial, politik
dan keagamaannya.
Pertama, dalam keyakinan
Abdurrahman Wahid sesuai dengan khazanah keilmuan NU, syariat Islam diturunkan
kepada manusia tidak memiliki tujuan lain kecuali untuk melindungi kepentingan
dasar manusia itu sendiri, mewujudkan kedamaian, kemaslahatan dan kemajuan di
antara mereka. Untuk tujuan itu, para ulama di masa lampau merumuskan sebuah
konsep yang dienal dengan maqashid as-syari’ah atau tujuan-tujuan
syariat.
Dalam satu karya monumentalnya, al-Mustasyfa (Jilid I,
hlm. 278), Al-Ghazali menyebutkan tujuan syariat diturunan kepada manusia
adalah untuk melindungi lima hal, yaitu: agama dan keyakinan, jiwa, akal,
keturunan, dan harta atau hak milik pribadi. Dengan demikian, Islam dalam
pandangan Abdurrahman Wahid sangat melindungi kebebasan beragama, berkeyakinan,
berprofesi dan berfikir. Islam sangat melindungi dan menghormati hak-hak asasi
manusia (HAM).
Sesuai dengan tujuan syariat, Abdurrahman Wahid sangat
mengedepankan toleransi beeragama dan menjunjung tinggi komunikasi dengan
kelompok agama berbeda. Bagi Abdurrahman Wahid, kebesaran Islam di masa lampau
bisa dimungkinkan karena peradaban Islam mampu menyerap nilai-nilai dari
peradaban dan agama lain.
Kedua, Abdurrahman Wahid
adalah tokoh agama yang sangat anti-kekerasan. Baginya, kekerasan bukan hanya
bertentangan secara diametral dengan ajaran Islam, tetai juga merugikan Islam
itu sendiri. Dalam konteks inilah, Abdurrahman Wahid selalu mengedepankan
dialog, baik antar-umat seagama maupun antar-agama.
Menurut Abdurrahman
Wahid, pertentangan penadapat tidak semuanya harus diselesaikan dengan melarang
atau menyesatkan kelompok lain. Toleransi justeru bisa lebih membawa hasil.
Baginya, hak hidup dan menjalankan ajaran agama yang diyakini merupakan hak
dasar yang dijamin sepenuhnya oleh syariat.
Ketiga, demokrasi adalah bagian dari manifestasi tujuan
syariat dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dalam pandangan
Abdurrahman Wahid, dalam dunia modern demokrasilah yang dapat mempersatukan
beragam arah kecenderungan kekuatan-kekuatan bangsa.
Demokrasi dapat mengubah kecerai-beraian arah
masing-masing kelompok menjadi berputar bersama-sama menuju kedewasaan,
kemajuan dan integritas bangsa.
Keempat, Abdurrahman Wahid
adalah penjaga tradisi, dimana menurut pandangannya, agama dan budaya bersifat
saling melengkapi. Agama bersumber dari wahyu dan memiliki norma-norma sendiri.
Norma-norma agama bersifat normatif, karenanya ia cenderung menjadi permanen.
Sedangkan budaya adalah kreativitas manusia, karenanya ia berkembang sesuai
dengan perkembangan zaman dan cenderung untukk selalu berubah. Perbedaan ini
tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk
udaya.
Kelima, menurut Abdurrahman Wahid,
Islam akan lebih efektif dan membumi jika berfungsi sebagai etika sosial. Hukum
agama, kata beliau, tidak akan kehilangan kebesarannya dengan berfungsi sebagai
etika masyarakat. Bahkan kebesarannya akan memancar, karena ia mampu
mengembangkan diri tanpa dukungan massif dari institusi negara[4].
B.
Pengaruh Pemikiran Tersebut
Terhadap Pemikiran Islam
Pandangan dan sikap Gus Dur dalam keislaman menekankan
sikap rahmatan lil ‘alamin, yakni membawa kebaikan dan kedamaian kepada orang
lain, kepada masyarakat lain, kepada kelompok agama lain, kepada suku lain,
kepada berbagai tataran keilmuan dan profesi lain, serta kepada bangsa lain.
Dari penekanan ini, kemudian muncul sikap kasih sayang (rahmat) dan
mengesampingkan sinisme yang disebabkan oleh “merasa yang paling benar”,
“merasa kuat”, dan lain sebagainya. Sikap kasih sayang ini adalah garis
pembatas agar kita tidak melakukan sesuatu yang membuat sakit hati suatu suku,
suatu agama, atau suatu kelompok, serta mengekang keinginan untuk menguasai
atau menindas.
Dari penekanan pada prinsip rahmatan lil ‘alamin ini,
keislaman Gus Dur kemudian dinaikkan pada tahapan keislaman yang lebih tinggi,
yakni khalifah fil ardhi (wakil Tuhan di bumi). Dengan prinsip khalifah fil
ardhi, aka segala tindakan selalu akan dilandasi niatan tulus dan kasih sayang,
didasari kedamaian dan demi kesejahteraan (rahmat), sebagaimana nilai-nilai
asmaul Husna dalam mencapai keharmonisan kehidupan di bumi ini. Sebagai
khalifah, maka setiap pribadi harus bersikap terbuka pada semua kepentingan dan
keberadan berbagai sendi kehidupan yang ada di muka bumi ini, seperti
keberadaan tingkat keilmuan, keberadaan taraf hidup, keberadaan keyakinan, dan
keberadaan dalam tingkat kemampuan melakukan ketaatan peribadatan. Dengan
keterbukaan untuk berdialog dengan semua sendi kehidupan tersebut diharapkan
tercapai titik temu jalan kebersamaan untuk meningkatkannya menuju tingkat
ideal. Salah satu tugas utama dari setiap orang yang berpegang pada prinsip
khalifah ini adalah menempatkan segala sesuatu sesuai dengan tempatnya
(al-‘adalah) dan memandang segala sesuatu yang ada di muka bumi ini memiliki
potensi kebaikan (al-hikmah).
C.
Mengapa Islam Dewasa Ini
Sangat Minim Dengan Pemikir-Pemikir Islam
Islam dewasa ini memang sangat minim dengan
para pemikir-pemikir islam. sebenarnya yang menjadi sebab minimnya formulasi
pemikir islam ada faktor utama, yaitu (1) adanya polarissai dikotomis pemikiran
pendidikan antara yang bersifat rasional-filosofis dengan yang bersifat
agamis-murni, dan (2) sebagian besar risalah pendidikan islam yang ditulis
ditujukan untuk segmen penuntut ilmu tingkat lanjut[5]
[1] Aris Saefullah. Gus
Dur VS Amien Rais: Dakwah Kultural-Struktural. (Yogyakarta: laelathinkers,
2003). Hlm. 65
[3] Jhon L, Esposito-Jhon O, Vall, Tokoh Kunci
Gerakan Islam Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002) h.
261-262
[4] A Muhaimin Iskandar. Melanjutkan
Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur. (Yogyakarta: LKiS, 2010). Hlm. 8-12